Roma

MIK'ERS Mempertanggung-Jawabkan Iman Katolik~~MIK TEAM~~ Susunan Pengurus GROUP MIK PELINDUNG MIK-ERS : ST. ANDREAS (30 November) MOTTO : Venite post me, faciam vos fieri piscatores hominum. (Datang dan ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia) 1. Pembimbing : RD. Inno Ngutra...--2. Narasumber : Semua Romo yg sudah menjadi member GROUP MIK...--3. Bpk. Penasehat : Bpk. Bernard Titus...--4. Ibu Penasehat : Ibu Lani Hardjono...--5. Ketua Umum : Bpk. Francis Tangkumahat...--6. Ketua Pelaksana : Lambert Resilay..--7. Wkl Ketua : Benny Teniwut...--8. Sekretaris/Notulen : Sdri. Fafay Filly Liandri V Waworundeng...--Koordinator Wilayah:1. Jakarta : Bpk. Sam Semmy Sirken...--2. Cikarang : Sdr. Agustinus Takndare...--3. Cirebon : Bpk. Peter Tan...--4. Bekasi : Ana Maria Primy...--5. Batam : Sdr. Filland Kiki..--6. Malang : Sdr. Fox Stevanus...--10. Bitung : Bpk. Sisco Sigarlaki..--11. Tondano : Sdri. Tiara Finsensia Liwe...--12. Ambon : Dkn. Yoppy Sorlury dkk...--13. Ternate : Rm. Patrik Angwarmase, Rm. Sukrisno...--14. Kei : Sdr. Dimas Singray Remetwa...--15. Tanimbar : Sdr. Jake Lalamafu, Bpk. Zakarias Lamere

Kamis, 07 Juli 2011

"TENTANG KASUS PARA IMAM / ROMO"


“HANYA SEBUAH SHARING”

Bagian Pertama: Sharing Pribadi

Seorang romo dipanggil dari umat, untuk dan bagi umat. Mencintai mereka bukan berarti kita harus menutup mata terhadap kelemahan dan kekuarangan mereka sebagai manusia. Melihat segala pengalaman yang telah terjadi, saya sedang mempersiapkan thesis saya dengan ulasan sekitar bagaimana memper...siapkan para imam/romo yang matang bukan hanya dari sisi intelektual, tetapi terlebih dari sisi kepribadiaan dan spiritual mereka. Saya berkeyakinan bahwa imam yang baik hanya lahir dari sebuah persiapan yang matang.

Apa yang tertulis di bawah ini hanya sebuah sharing bagi kaum muda dan anggota MIK.


Mengakhiri tahun akademik tahun 2000 di Seminari Pineleng tentunya menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa. Tahun akhir ini juga semakin menjadi istimewa karena “tahbisan diakon” seakan menjadi mahkota dari segala perjuangan sebagai seorang frater, dan langkah awal menuju penerimaan sakramen Imamat. Waktu itu, Pater Rektor dan staff Pembina memberi kesempatan kepada mereka yang tidak memiliki halangan tahbisan untuk segera memasukan lamaran diakon. Saya tidak mempunyai halangan luar (eksternal) yang bisa menggagalkan tahbisan diakon itu, tapi halanganku dan hanya satu-satunya,yakni yang muncul dari dalam diriku sendiri. Ada dua hal penting yakni:

1). Waktu sekitar 8 tahun menjadi seorang frater adalah masa-masa perjuangan berat untuk mengisi otakku dengan dogma dan ajaran gereja, pun pengembangan kepribadian walaupun belum efektif amat. Artinya, segala usaha dan perjuanganku adalah bagaimana mendapatkan nilai yang bisa memenuhi standar sekolah sehingga tidak “di-DO” alias dikeluarkan karena nilai yang tidak mencukupi.

2). Efek yang paling terasa adalah hati terasa kosong untuk menjadi ruang yang aman bagi sebuah rahmat tahbisan imamat yang istimewa dan nan suci itu.

Berdasarkan dua pertimbangan di atas, maka dengan gagah berani saya mendatangi rektor dan staff untuk menyatakan KETIDAK-SEDIAAN saya untuk memasukan lamaran diakon. Kepada pater rektor saya hanya menyampaikan alasan-alasan di atas sambil menambahkan bahwa biarlah saya kembali kepada uskupku di Ambon untuk membiacarakan hal ini lebih mendetail. Rektor masih memberi keseampatan lagi untuk berpikir kembali tentang keputusanku, tapi waktunya tiba dan aku tetap bertahan pada keputusannya. Bagiku, tahbisan diakon bukan soal pesta “makan bunuh” kata orang Manado, tetapi pertanyaan lebih utama adalah: “Apakah aku mempersiapkan diri dan jiwa untuk menerima kesucian tahbisan ini, yang akan menentukan seluruh masa depanku kelak?”

Akhirnya, aku kembali ke Ambon, bertemu dengan uskup untuk menyampaikan keputusanku dan mempertanggung jawabkannya. Terus terang, selain faktor-faktor yang telah saya sebutkan di atas, masih ada dua hal yang ingin saya tambahkan, yakni:

1). Semua keluarga mengharapkan saya menjadi seorang imam/romo, dan tentunya mereka bahagia bila saat itu akan tiba, tapi inilah hidupku. Inilah masa depanku di mana tidak akan ada seorang anggota keluarga pun merasakan duka dan derita ketika aku akan menjalanininya sebagai seorang romo. Mereka bisa menunjukkan simpati dan empati mereka, namun hanya aku sendirilah yang merasakan secara pasti derita-derita sebagai seorang imam/romo.

2). Aku memiliki hubungan dengan seorang gadis sejak masa Seminari Kecil dan aku ingin menyelesaikannya secara baik-baik sehingga tidak akan mendatangkan luka baik kepada dia maupun aku. Dan point inilah yang kiranya akan menjadi dasar untuk membahas dan mengsharingkan lebih lanjut sehubungan dengan topik yang diposting oleh saudara Sahe.

Apa yang kemudian kurasakan dan ini sungguh benar dalam pengalaman yakni: KEKUDUSAN, KEMISKINAN DAN KETAATAN (nilai-nilai Injili yang dituntut dari para calon imam dan imam, “hanya” dihayati secara benar dan baik ketika kita menjadi frater, (Apakah mungkin karena faktor ketakutan? Bisa juga menjadi alasannya), tetapi ketika kita telah menjadi imam/romo maka berangsur-angsur nilai-nilai itu kita hancurkan oleh karena adanya jabatan, uang dan sarana prasana yang ada di sekitar kita. Saya selalu percaya bahwa MASIH ADA BANYAK IMAM/ROMO YANG SUCI, tetapi ini menjadi pengalaman banyak romo….maaf bila lebel ini dikenakan kepada teman-teman romo, tapi menjadi sebuah KEBENARAN DALAM PENGALAMAN PRIBADIKU SEBAGAI SEORANG IMAM selama 9 tahun ini.

Bagian Kedua: Pengalaman Menghadapi Kasus Teman-teman Imam/romo(Sebuah jawaban dan refleksi lanjut tentang pertanyaan saudara Sahe)

Beberapa tahun lalu saya dipercayakan oleh Uskup Ambon menjadi Ekonom Keuskupan Amboina. Rentang waktu itu, selain sibuk dengan pekerjaan pengaturan dan pengelolahan keuangan keuskupan, saya juga berhadapan dengan kasus teman-teman YANG KEBETULAN NAMPAK DAN DIKETAHUI OLEH UMUM (karena masih banyak yang tersembunyi baik yang sengaja disembunyikan oleh sang imam dan orang per orang maupun oleh cita rasa hati umat Katolik yang luar biasa. Dalam konteks inilah, kita musti melihat bahwa bukan hanya si iman tapi umat sendiri mengungkapkan rasa cinta mereka kepada imam/romonya). Seorang teman pernah bercerita bahwa ketika keluarga si gadis tahu bahwa anak mereka hamil karena hubungan dengan seorang imam/romo maka mereka berkata: “PASTOR, BIAR JO ANAK ITU TORANG YANG PIARA, YANG PENTING PASTOR ITU JANG KASE LEPAS TU JUBA.”. Seorang wanita lain datang kepadaku dan mengatakan: “BIAR ROMO, AKU AKAN MEMBUAT SEGALANYA SECARA RAHASIA YANG PENTING ROMO TEMANMU BISA TETAP MENJADI SEORANG ROMO.” (Bacalah ini dengan perlahan-lahan dan aku pastikan bahwa ketika kata-kata ini masuk ke dalam hatimu, Anda pun akan menangis seperti saya ketika mendengarnya untuk mendengarnya untuk pertama kali). Itulah umat kita, umat Katolik yang rela berkorban untuk para imam/romonya). Apakah ini kesalahan sang romo yang menekan si korban? Tentunya tidak! Tapi inilah nilai dan cita rasa umat yang pantas disyukuri bahwa itu masih ada dalam diri dan hati umat Katolik sampai saat ini. Inilah adalah rahmat Tuhan karena manusia tidak mampu melakukannya sendiri bila tidak dituntun oleh Roh Kudus. Ini pun tidak mau mengatakan bahwa KITA MENGABAIKAN SI KORBAN. KITA YANG TIDAK MENGALAMINYA SECARA LANGSUNG KADANG BERPIKIR BAHWA INI TIDAK ADIL, TAPI JIKA ANDA BERTEMU DENGAN ORANG-ORANG LUAR BIASA SEPERTI DALAM CERITA DI ATAS, MAKA ANDA AKAN MENYADARI BAHWA MEREKA MELIHAT PENGALAMAN ITU SEBAGAI KESEMPATAN BAGI MEREKA UNTUK BERKORBAN, BUKAN PERTAMA-TAMA DEMI MEMBEBASKAN SI ROMO, TAPI SEMUANYA DEMI RASA CINTA MEREKA KEPADA TUHAN, GEREJA DAN PARA IMAMNYA. Kalau dulu para martir bisa memberikan nyawa demi Yesus, maka mereka melihat ini sebagai persembahan mereka. Apakah gereja mengabaikan mereka? Tanyakanlah kepada mereka dan mereka akan mengatakan kepadamu seperti apa yang mereka telah katakan kepadaku. (Walaupun tidak semua seperti ini).

Lalu, apakah ini sebuah tindakan pembiaran ketidak-adilan dalam gereja Katolik? Baiklah kita membaca dari pengalaman sebelum membuat kesimpulan yang tergesa gesa hanya karena melihat kasus per kasus. Saya tidak tahu bagaimana keuskupan lain (uskup) menangani para imamnya yang bermasalah tetapi ceritaku berdasarkan apa yang telah kusaksikan dan kualami bersama uskupku di Ambon.

1. IMAMAT adalah PEMBERIAN TUHAN. Ini bukan sebuah balas jasa atas kekudusan seorang romo, atau pemberian hadiah dari seorang uskup kepada calon-calon yang dianggap pantas. Inilah yang ditekankan secara indah oleh Konsili Trente: “…Imamat berasal dari Allah yang diberikan/diteruskan oleh Kristus kepada mereka yang dipanggil menjadi imam…” Paus Agung, Yohanes Paulus II dalam refleksinya dalam tahun-tahun akhir hidupnya, menambahkan sesuatu yang indah tentang imamat ketika mengatakan: “..Imamat adalah sebuah misteri dan pemberian Allah…Kritus adalah faktor penting untuk mengerti imamat secara tuntas…Roh Kuduslah yang menguduskan imam…Imam menjadi pengajar di dalam Gereja…Imam adalah model dan gembala yang baik…” Kalau demikian, maka tidak seorang pun di dunia ini BERHAK MENCABUT IMAMAT YANG TELAH DITERIMA OLEH SESEORANG. INILAH JUGA YANG MENJADI ALASAN KENAPA GEREJA MEMAKLUMKAN BAHWA SESEORANG KARENA SKANDAL, DILEPASKAN DARI TUGASNYA SEBAGAI SEORANG IMAM TAPI TAK BISA LEPAS DARI SAKRAMEN IMAMATNYA YANG ADA PADANYA SEUMUR HIDUP. Karena itu, dalam kasus-kasus tertentu, si mantan imam/romo masih bisa menggunakan kuasa imamatnya, sekalipun ia tidak menjabat sebagai seorang imam lagi.

Bagaimana penanganan kasus per kasus dalam setiap keuskupan, terutama terhadap kasus yang menimpa para imam, baik projo maupun religus/tarekat? HUKUM GEREJA TIDAK MENCANTUMKAN CARA PENANGANAN KASUS PER KASUS secara rinci, terutama apa yang harus dibayar/diberikan kepada para korban. APA YANG ADA DALAM KITAB HUKUM KANONIK ADALAH PENTUNJUK UMUM yang darinya setiap keuskupan/tarekat diminta membuat aturan sendiri dalam kasus-kasus seperti itu. Artinya, setiap keuskupan/tarekat hendaklah menuliskan secara rinci apa konsekwensi yang dikenakan kepada baik si imam (yang bermasalah) maupun keuskupan/tarekat dari mana si imam bermasalah itu berasal. Dalam hal ini, KITA DARI LUAR (UMAT TIDAK BERHAK MENENTUKAN APA YANG HARUS DIBUAT OLEH USKUP KEPADA SANG IMAM/ROMO; Masakan hanya dipindahkan saja? Kenapa tidak melepaskan dia untuk bertanggung jawab kepada si korban. Dengan kata lain, secara ekstrim mengapa kamu tidak mengatakan LEBIH BAIK TEMBAK MATI SAJA si IMAM/ROMO SEPERTI ITU? Saya hanya mau mengatakan bahwa itu ada aturan mainnya, sehingga NAMPAK BEDA DARI SATU KEUSKUPAN DENGAN KEUSKUPAN LAIN, DARI SATU KONGREGASI/TAREKAT DENGAN TAREKAT LAIN. Ini akan lain bila kita menyelesaikan kasus seperti ini dari sisi hukum adat dan sipil di setiap tempat/Negara.

2. Karena kebijakan setiap keuskupan berbeda maka saya hanya mau mengsharingkan apa yang diterapkan dalam keuskupan Amboina selama masa tugas saya, dan pasti masih berlangsung sampa sekarang. Ada beberapa tindakan nyata yang dibuat oleh uskup keuskupan Amboina, yakni:

a. Uskup tetap merasakan bahwa dia adalah BAPA DARI PARA IMAMNYA (Imam Projo Keuskupan Amboina). Oleh karena itu, terhadap para imamnya yang mengalami kasus seperti itu, tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan si imam mencari tempat berlindung atau tempat aman sendiri, misalnya di luar keuskupan. Kepada si imam/romo yang bermasalah, selalu dipanggil oleh uskup untuk tinggal di rumah keuskupan selama beberap bulan bahkan tahun untuk mendapatkan pembinaan khusus oleh uskup sendiri. Inilah cinta dan hati sang bapa yang berlari mendapatkan putra bungsunya, memeluk dan menciumnya dan membuat pesta meriah untuk anaknya yang hilang namun telah kembali. (bdk. Luk 15:11-32). Artinya, uskup tidak mau melimpahkan kasus atau masalah yang menimpah anak-anaknya kepada orang lain. Imam/romo itu bagaikan domba yang sakit dan terluka sehingga uskup sebagai bapa dan gembala harus menuntun, merawat dan menyembuhkannya sendiri di dalam rumahnya. Uskup menyadari akan penjelasan dalam nomor 1 bahwa imamat adalah pemberian Tuhan dan ia harus melindungi para imamnya ketika ia diutus menjadi uskup di Keuskupan Amboina.

Dalam kasus “hanya dipindahkan,” itu pun harus dilhat dalam konteks aturan uskup (keuskupan) atau tarekat terhadap para anggotanya. Jadi, sekali-lagi keuskupan atau tarekat takan pernah membiarkan si korban seperti kesan umum. Keuskupan dan tarekat memiliki aturan yang jelas tapi kadang umat sendiri yang merasa tidak pantas menerimanya (Ingat cita rasa umat Katolik di Indonesia)

b. Bagaimana terhadap korban? (ibu dan bayi). Seperti yang sudah saya sebutkan di atas maka GEREJA UNIVERSAL (DALAM HUKUM GEREJA) tidak berbicara kasus per kasus tapi hanya aturan-aturan umum, sehingga Uskup dalam keuskupan dan setiap kongregasi/tarekat harus menentukan aturan-aturan kongrit tentang kasus per kasus dalam tarekat atau keuskupannya. Misalnya; ada keuskupan yang bersedia membayar (seperti keuskupan Boston di USA), atau memberikan sejumlah uang untuk menyelasaikan masalah, atau membiayai anak sampai batas umur tertentu, dll. Karena aturan setiap keuskupan dan tarekat beda maka tentunya apa yang teman-teman saksikan di tempatmu pasti beda dengan pengalaman di tempat lain. Di keuskupan Amboina, saya diperintahkan oleh uskup untuk mengeluarkan uang keuskupan untuk menangani kasus-kasus seperti ini sambil tetap membuat pendekatan pribadi terhadap para korban, baik keluaga, ibu maupun anak.

c. Untuk mencegah kasus-kasus seperti ini di kemudian hari, maka sejak 5 tahu terakhir ini (kira-kira) sudah ada janji yang dibuat oleh para diakon bila menghadapi kasus-kasus seperti ini. (Sekali lagi, ini bukan sebuah tindakan pembiaran melainkan pencegahan dan peringatan keras bagi para calon imam keuskupan Amboina. Intinya, bila terjadi kasus-kasus seperti setelah janji dibuat maka segala konsekwensinya ditanggung oleh pribadi si imam/romo. Apakah Gereja (uskup) melepaskan tanggung jawabnya? Tidak! Aturan sudah dibuat, janji sudah diucapkan, maka pelanggaran terhadap janji menjadi tanggung jawab, bukan dari uskup yang kepadanya diberikan janji melainkan si pembuat janji itu sendiri.

Penutup

Akhirnya, saya berharap semoga lewat sharing ini, teman-teman calon romo (frater) maupun para romo dalam group ini merefleksikan kembali sakramen imamat mereka atau pun yang nanti akan diterimanya, tetapi juga menjadi jawaban atas keraguan umat terhadap tindakan-tindakan cinta kasih dari Gereja kepada putra-putranya yang bersalah dan berdosa, terutama juga kepada para korban. Apa yang indah, adalah turut mendoakan para imam/romo siang dan malam seperti pa Titus dan Lambert dan teman-teman lain, karena sesungguhnya PANGGILAN MEREKA TERBUAT DARI DAN MENJADI BEJANA TANAH LIAT YANG MUDA RETAK BILA TIDAK HATI-HATI DALAM PEMELIHARAANNYA. Lihatlah…nasib para imammu bagaikan TELUR DI UJUNG TANDUK, YANG KADANG KITA UMATLAH YANG MELETAKKAN TELUR ITU DI UJUNG TANDUK DAN MEMBIARKANNYA, TETAPI KADANG JUGA KITA PARA ROMO/IMAM SENDIRI YANG SENGAJA MELETAKKAN TELUR ITU DI SANA SEHINGGA MUDAH DILIHAT DAN DIPECAHKAN OLEH SANG MUSUH ABADI IMAMAT, YAKNI IBLIS SENDIRI.

Karena itu, kuajak setiap pembaca kisah ini untuk menyempatkan 1 menit saja untuk tenang di hadapan Tuhan setelah membaca sharing ini dan mendoakan para imam/romo kita. Itulah cara terbaik untuk membantu mereka. Jika kita PERCAYA BAHWA IMAMAT BERASAL DARI YESUS MAKA BAIKLAH KITA MEMINTA-NYA UNTUK MENJAGA APA YANG DIBERIKANKANNYA kepada SEORANG IMAM/ROMO YANG MANUSIA BIASA.

Terima kasih…semoga sharing kecil ini bermakna kepadamu, terutama jiwa mudamu untuk selalu bangga kepada Gereja Katolikmu di balik kelemahan-kelemahan para romo. Semoga Bunda Maria yang dihormati dalam setiap hari sabtu memeluk erat para putranya, para romo dalam mantel keibuannya.

Salam rindu seorang sahabat untuk para sahabat,

Romo Inno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar